Judul : Cinta Tak Akan Pernah Kembali
link : Cinta Tak Akan Pernah Kembali
Cinta Tak Akan Pernah Kembali
Malam itu ketika gue sedang membuka akun Facebook, muncul tanda merah di samping kanan atas yang menandakan adanya pemberitahuan masuk. Gue tertegun sebentar, kemudian meng-klik tanda merah itu dan ternyata menuju wall (dinding) profil gue. Tidak disangka, ternyata pemberitahuan masuk itu dari mantan … eh bukan tapi dari teman tapi mesra … eh bukan juga tapi dari seorang cewek yang berasa mantan pacar tapi nggak pernah gue pacarin. Bingung nggak kalian? Hahaha, sama gue juga bingung.
Iya, jadi gini. Doi tuh teman waktu SMP dulu yang kayaknya demen sama gue dan gue juga demen sama doi, tapi nyatanya kita tuh nggak pernah jadian. Ya pokoknya status kita hanya sebatas teman, tapi hati kita seakan-akan sudah saling tahu bahwa kita tuh saling cinta tapi nggak ditakdirkan untuk saling memiliki. Ah sudahlah, lupakan saja. Toh, gue juga nggak ngerti dengan perasaan kita dahulu.
Pada wall akun Facebook gue, dia mengirim pesan yang berbunyi: Faris, bagi pin lu dong. Gue senang bukan kepalang mendapat pesan darinya meskipun kita sudah nggak pernah bertemu lagi sejak lulus SMP. Itu berarti sudah lebih dari 7 tahun gue sama doi nggak bertatap muka. Sedih ya readers? Cerita cinta kita tuh mirip banget sama lagu Isabella: dipersatukan namun akhirnya harus berpisah. Sambil ngetik artikel ini gue terus berkata dalam hati, “Jangan galau lagi Ris, pleaseeee…. Lu udah bahagia sekarang.” Huft, nggak gampang ya, hahaha.
Baiklah kita lanjut lagi. Pada pesan dinding tersebut, dia minta pin BB. Sedangkan gue, sudah lama nggak menggunakan handphone Blackberry dan diganti dengan handphone Android kebanyakan. Juga, di handphone Android yang gue miliki ini nggak ada aplikasi BBM. Alasannya, di zaman modern seperti sekarang ini gue lebih suka memakai Line atau Whatsapp. Sok businessman banget, hoho.
“Gue udah nggak pake BB lagi ***,” balas gue di kolom komentar. Nama doi sengaja gue samarkan demi menjaga keutuhan cinta kita dahulu. Pret lah.
Gue tunggu semenit, belum ada balasan. Gue tunggu 5 menit, belum ada juga. Gue tunggu sampai sejam, masih belum dibalas. Oke, mungkin dia sudah logout atau sudah pergi tidur. Sementara gue lanjut browsing sambil twitteran.
“Tumben dia nanya pin BB, ada apa ya?” tanya gue dalam hati ketika ingin menutup laptop.
Tepat hari Minggu, gue kembali membuka Facebook karena penasaran kira-kira bakal dibalas nggak ya sama doi. Mengingat sudah ditunggu beberapa hari, kali aja doi membalas komentar gue. Namun sebelum gue melihat tanda notifications, alangkah tercengangnya gue dengan postingan doi yang bertuliskan: pada dateng yaaa semua….
“What? Apa ini?” tanya gue dengan tatapan melotot.
Doi memposting sebuah foto seperti petunjuk jalan. Gue amati lebih lanjut dan foto itu mirip bagian belakang kartu undangan, yakni denah lokasi.
Sambil memicingkan mata gue bertanya pada diri sendiri, “Denah lokasi bukannya yang ada di undangan nikahan kan?”
Gue semakin penasaran, siapa yang bakal kawinan: saudaranya, kakaknya, adiknya, tetangganya, bapaknya, atau neneknya? Eh kalau neneknya sih nggak mungkin. Firasat gue pun langsung berubah jadi nggak enak.
“Jangan-jangan yang nikahan itu….” gue mencoba menerka. Kemudian gue tepis dugaan barusan, “Ah nggak mungkin, doi kan masih muda. Masa udah married aja.”
Foto tidak memberikan jawaban secara pasti, maka gue lihat kolom komentar di bawahnya. Benarlah dugaan gue barusan … doi nikah.
Tar! Suara gluduk seakan-akan menampol kepala gue.
Sudah banyak ucapan selamat di kolom komentar foto tersebut, seperti: selamat ya, selamat menempuh hidup baru, nanti aku nyusul, nanti aku dateng, dan lain sebagainya.
Ini Foto Denah Lokasi yang Doi Upload di Facebook |
Sedangkan gue di depan laptop dengan mata terbelalak masih tetap nggak percaya bahwa cinta pertama gue mau nikah. Dengan perasaan kecewa yang semakin nggak menentu, gue scroll ke atas, scroll lagi ke bawah pada kolom komentar hanya untuk memastikan bahwa update statusnya itu bukanlah main-main. But it’s real. Pada akhirnya gue nge-down, sedih, nggak mood, nggak nafsu makan, dan bahkan gue malas untuk beranjak dari tempat tidur.
“Kok lu tega sih ***, udah mau nikah aja. Padahal aku kan rencananya mau ketemu sama kamu lagi buat ngebangun cinta kita yang dulu,” batin gue sambil memeluk guling.
Jujur tapi malu, malam itu gue banjir air mata. Bokap dan nyokap malah asyik nonton acara dangdut. Mereka nggak tahu kalau anaknya sedang tertimpa guncangan batin. Malam itu juga gue nggak bisa tidur. Kepala gue pusing, mata sembap, hidung beler, dan tubuh lemas tak berdaya. Malam semakin larut, emosi di dada gue pun semakin membuncah. Gue banting badan ke kanan, kiri, atas, dan bawah. Tingkah gue kala itu sangat mirip buaya yang sedang dibius.
Membanting badan bukan solusi, maka gue mencoba untuk keluar kamar. Ternyata sudah sepi, anggota keluarga lain telah tidur. Dengan langkah gontai, gue mondar-mandir dari ruang tamu ke dapur, dari dapur ke ruang tamu. Begitu seterusnya sampai dua belas kali balikan. Entah karena efek sedih atau karena apa, gue menjadi lapar. Gue buka kulkas dan mencomot beberapa biskuit hambar. Disinyalir, biskuit yang gue makan itu sudah berbulan-bulan mendiami kulkas. Bukannya kenyang, tapi malah gigi gue jadi lengket akibat biskuit lama tersebut.
Bruk. Gue menghempaskan pantat ke sofa. Kemudian gue menarik napas panjang, lalu gue keluarkan secara perlahan. Di malam yang sunyi itu, hati dan jiwa gue seperti diinjak oleh mammoth. Setelah diinjak, kepingan yang berserakan itu disapu bersih lalu dimasukkan ke dalam kresek, dan akhirnya dibakar. Habis tak tersisa. Menjadi abu yang terbang hilang oleh angin malam. Sekitar setengah jam gue bengong sambil berlinang air mata, maka gue kembali memutuskan untuk tidur. Namun, kekecewaan dan kesedihan yang gue rasakan kala itu … begitu lengket.
***
Hari seninnya, kondisi gue sudah agak membaik. Meskipun, wajah gue masih menyisakan kepedihan-kepedihan yang susah untuk diutarakan. Tidak ingin larut dalam kesedihan, maka gue memutuskan untuk berangkat kuliah. Sambil menimba ilmu gue juga berharap energi negatif yang ada pada diri gue bisa pergi secepatnya. Sesampainya di kampus, gue melenggang anggun dengan tas ransel yang ringan. Betul, soalnya gue cuma bawa buku satu, pulpen satu, dan sebotol air minum.
Setiba di kelas, ternyata sudah ada dosen. Dosen itu bernama Ibu Elly, yang mana dia adalah dosen wali gue juga. Dengan muka yang mulai memudar karena faktor usia, Bu Elly menopang dagu sambil menunggu mahasiswa lain masuk kelas. Gue pun duduk di bagian sisi kanan kelas. Gue lihat ke sekeliling kelas sambil menaruh tas ransel di bawah bangku. Hanya terdapat segelintir mahasiswa yang sedang bermain handphone. Dengan kondisi yang seperti itu, membuat gue nggak niat belajar karena kesannya seperti ogah-ogahan.
Tak lama berselang, mahasiswa lain pun masuk dan mengisi bangku yang kosong. Pembelajaran pun dimulai. Seperti biasa, dosen hanya berceloteh kesana-kemari ditambah banyolan dan curhatan pribadi. Karena pada faktanya, sebagian dosen hanya meng-copy paste materi dari buku ke power point. Sisanya mereka hanya berpendapat, cerita, dan curhat. Gue hanya manut mendengarkan dosen berbicara. Padahal, pikiran gue melayang entah ke mana. Mahasiswa lain pun sama, mereka diam mendengarkan. Tapi siapa yang tahu, pikiran dan hati mereka mungkin berada di tempat yang jauh.
Bu Elly masih memberi materi (curhat) kepada para mahasiswa. Sementara para mahasiswa diam seribu bahasa diiringi tatapan: lama banget sih kampret. Suasana di kelas waktu itu begitu hening, layaknya di kontrakan kosong. Hanya terdengar beberapa kali suara handphone terjatuh dari si empunya. Benar, kebanyakan mahasiswa yang duduk di belakang seringkali bermain handphone meskipun dosen sedang menerangkan pelajaran. Padahal, sikap seperti itu jelas nggak baik. Karena sudah sepatutnya kita menghormati orang yang sedang berbicara atau menerangkan sesuatu di depan kelas, utamanya dosen.
Satu jam sudah Bu Elly ngoceh di depan kelas. Disertai dengan sesi tanya jawab untuk mengembangkan kemampuan intelektual mahasiswa. Namun lucunya, para mahasiswa tak satupun ada yang bertanya atau menjawab. Sungguh, suasana saat itu tergolong yang paling dingin.
Saking sepinya, Bu Elly sampai ngomong, “Sepi amat nih kelas, kayak kuburan.” Ujar Bu Elly sambil tersenyum kecut, yang artinya: lu semua masih pada hidup kan?
Tak lama berselang, Bu Elly kembali melanjutkan ceritanya. Ia beranjak dari bangku dosen lalu mendekati mahasiswa. Mahasiswa yang sedang bermain handphone cepat-cepat memasukkan benda berharganya itu ke dalam saku. Bu Elly terus bercerita dengan gaya khas nenek-nenek. Gue hanya tersenyum kecil agar dikira gue mencermatinya. Padahal, Bu Elly ngomong apa juga gue nggak tahu.
Kemudian, Bu Elly mendekati barisan gue. Terus, tiba-tiba ia bilang begini ke seluruh mahasiswa, “Hal buruk yang membuat Anda nge-down lebih baik disimpan.”
Gue terhenyak sesaat. Mata gue sedikit membuka, karena dari tadi mata gue agak sayu. Kata “nge-down” kembali mengingatkan gue ke denah lokasi yang doi posting di Facebook. Lantas, gue tulis kalimat yang dilontarkan oleh Bu Elly itu pada selembar kertas. Tujuannya, tentu saja untuk memotivasi diri gue dan untuk bahan artikel ini. Hoho.
Bu Elly kembali melanjutkan perkataannya. Gue dengar secara seksama nasihat darinya dan gue coba terapkan dengan apa yang gue rasakan.
“Lebih baik disimpan …. Sudah, tidak usah dibuka lagi,” ujar Bu Elly, tepat di depan gue dia ngomong begitu.
Sembari mengetuk-ngetuk pulpen, gue kembali mengawang ke rencana pernikahan doi yang nggak akan lama lagi digelar.
Gue diam sejenak. Betul juga, nggak ada gunanya gue terus-terusan memikirkan hal yang bukan patut untuk gue pikirkan. Buat apa gue larut dalam kesedihan sementara doi bahagia sama calonnya. Gue mengerti, toh masih banyak ikan di empang. Lebih baik gue simpan kenangan antara gue dan doi atau bahkan gue kubur dalam-dalam. Sehingga, gue bisa melupakan kenangan itu sekaligus bisa dijadikan pelajaran untuk ke depannya. Maka ketika jam telah usai, gue beranjak dengan hati yang lapang.
***
Seminggu kemudian, gue kembali mengikuti mata kuliahnya Bu Elly. Pada hari itu, yang hadir cukup banyak. Maklum saja, karena saat itu adalah minggu pertama kuliah setelah libur panjang tiga bulan. Setelah semua mahasiswa duduk di bangku yang telah disediakan, Bu Elly memulai pembicaraan dengan sepatah dua patah kata. Waktu, itu ia terkesan lemas dan tidak bersemangat. Katanya, ia sedang sakit dan tidak enak badan. Pantas saja Bu Elly memakai mantel tebal ditambah mukanya yang sedikit agak pucat. Uniknya, Bu Elly terbiasa mengajar hanya dengan memakai sandal rumahan dan bukan sepatu layaknya dosen kebanyakan.
Pembelajaran pun dimulai. Seperti biasa, gue hanya diam mendengarkan pura-pura ngerti dengan apa yang dia ucapkan. Sesekali, gue melihat handphone untuk mengecek jam. Dikarenakan kondisi kelas yang pasif, Bu Elly berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan mendekati mahasiswa.
Dia terus ngomong dan sampai pada akhirnya dia menanyakan, “Apa ungkapan lain dari birahi?”
Gue yang paham betul dengan frasa kata seperti itu langsung menjawab, “Libido.” Ketahuan banget ya kalau gue itu sering nonton yang “begituan”. Hahaha.
“Npm berapa?” tanya Bu Elly.
“232.” Jawab gue singkat.
Sementara mahasiswa lain memandang aneh ke gue yang begitu cepat menjawab pertanyaan birahi tersebut. Kemudian Bu Elly menambahkan nilai individu pada npm gue. Tapi tetap saja, ketika gue cek di portal akademik nilai gue … D. Nggak ngefek.
Selanjutnya, Bu Elly kembali menjelaskan bahwa libido manusia akan naik jika malam mulai larut. Apalagi jika kita mengkonsumsi makanan berat atau makan malam dengan porsi besar. Maka, libido kita akan semakin tinggi pula. Atas pernyataannya itu, gue menyadari bahwa gue sering kali konak jika malam tiba. Nggak tahu kenapa bawaannya bisa seperti itu. Wajar saja sih kalau menurut gue, karena usia gue sudah tergolong pra-dewasa. Jadi, sudah sepantasnya untuk melakukan hubungan seksual. Meskipun, sampai saat ini gue masih belum mempunyai calonnya. Doakan gue ya readers agar gue dapat dipertemukan dengan jodoh yang tepat di waktu yang tepat.
Bu Elly membubarkan kelas lebih awal. Dikarenakan dia sudah tidak sanggup dengan kondisinya yang memang sedang tidak enak badan dan puyeng karena anak didiknya begitu pasif (diam melulu). Kalau gue sih senang-senang saja jam usai lebih cepat. Lagian, berlama-lama di dalam kelas juga ngapain? Cuma duduk, main handphone, nguap, ngupil, pura-pura mendengarkan, dan lain-lain. That made me boring. Jika dibandingkan, masih mending suasana pembelajaran waktu sekolah dulu. Setidaknya, menulis dan mengerjakan soal-soal masih diterapkan di sistem sekolah. Sedangkan di bangku kuliah, hal demikian terserah mahasiswa. Mau menulis ya syukur, mau nggak ya bodo amat.
Setelah keluar kelas, gue bergegas menuju rumah Allah (masjid) untuk mendirikan salat asar berjamaah. Sore itu, sang surya memberi sinar terangnya yang hangat pada kota Bandung. Sambil menunggu orang lain melaksanakan salat tahiyatul masjid, gue memandang keluar jendela. Gue pandangi langit kekuning-kuningan yang amat anggun. Langit itu dihiasi oleh awan-awan dan juga matahari sore. Subhanallah, begitu indah panorama di senja itu.
Sembari mengawang ke langit, gue kembali terpikirkan dengan acara pernikahan doi. Gue nggak habis pikir, begitu cepatnya doi menikah. Sedangkan gue masih harus menimba ilmu beberapa tahun lagi. Gue sama sekali nggak nyangka kalau doi mau nikah muda, muda banget malah. Ya tapi ada sisi positifnya juga sih. Doi mendingan nikah biar dapat pahala. Daripada pacaran, dapat pahala nggak, tapi malah dapat maksiat dan dosa.
Memang sih, doi nggak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil kepoan gue berdasarkan profil Facebooknya, doi hanya sampai tamatan SMK. Setelah lulus, doi juga sempat kerja di beberapa perusahaan sebagai sales. Iya, pokoknya kayak mbak-mbak Ramayana gitu. Gue senang dan bangga atas pekerjaan yang sudah doi lakukan. Meskipun, gue tahu itu semua dari foto-foto yang doi upload di Facebook.
Dari sini, gue memahami bahwa setiap orang pasti punya skenarionya tersendiri. Coba saja lihat: Gue masih kuliah, padahal hati mah ngebet mau kawin dan ingin merasakan nikmatnya making love. Tapi ya mau bagaimana lagi, ini semua harus gue jalani dan nikmati. Kan kalau gue lulus, kesempatan untuk meminang gadis semakin terbuka lebar. Kedua, doi nggak kuliah dan langsung kerja. Tapi, malah mau menggelar resepsi pernikahan. Betul juga kata orang dulu, bahwasanya perempuan lebih cepat married. Soalnya, perempuan nggak harus mikir tentang nafkah. Kecuali nafkah batiniah, ohohoho.
Lamunan gue disadarkan suara iqamah. Gue merapatkan barisan dengan jamaah yang lain. Salat asar pun didirikan dengan suasana khusyuk, tenang, nyaman, tentram, dan nikmat. Sebagai manusia yang penuh dengan dosa, gue sujud kepada-Nya dengan kerinduan dan dengan penuh ketidakberdayaan. Begitu damai gue rasakan ketika sujud tahiyatul akhir. Air bekas wudu mengalir jatuh dari kening ke hidung lalu ke sajadah. Hembusan angin sore membelai kulit melalui celah jendela masjid. Selesai salat, gue wirid sambil memanjatkan doa untuk masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Di sore yang teramat hangat itu, gue pulang membawa hikmah.
***
Beberapa hari kemudian, gue nggak ngampus karena jadwal kosong. Alhamdulillah, gue bisa istirahat di rumah sekaligus hemat ongkos, tenaga, dan bensin. Siang harinya, gue biasa makan siang (lunch time) bareng nyokap dan adik gue. Kalau ada bokap di rumah, kita biasa makan berempat minus abang gue. Karena, abang gue kerja dan pulangnya malam.
Dengan lauk seala kadarnya seperti nasi hangat, ayam goreng, sambal goang, tempe goreng, tahu goreng, dan sayur sup kita makan secara bijaksana. Diselingi dengan obrolan antaranggota keluarga, makan siang menjadi lebih harmonis. Sambil mengunyah, nyokap mengoper-oper channel TV untuk mencari tayangan yang bagus.
“Ah, nggak ada yang bagus, Dis,” kata nyokap.
Gue yang sedang menggigit paha gadis, eh paha ayam nggak meresponsnya.
Beberapa detik kemudian, nyokap berseru, “Ah ini … ada Si Doel!” Sambil menaruh piring seng, nyokap lantas menaikkan volume TV. Lalu terdengar soundtrack khas dari sinetron legendaris tersebut: aaaanak betaaaawiii, ketinggalan zaaamaaaan, kaaateeenyeee …. Nyokap mulai mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar lagu Si Doel Anak Betawi. Pasalnya, lagu tersebut memang begitu familiar bagi orang-orang angkatan tahun 90. Termasuk gue, karena sedari gue SD hingga sekarang lagu itu masih enak didengar.
Nggak mau kalah, adik gue si Ajeng pun ikut menggelengkan kepalanya. Sambil makan tahu cibuntu, mulutnya bergumam mengikuti alunan lagu Si Doel. Sembari mencomot sambal, gue dengarkan seksama suara di televisi.
“Ya elah … gitu banget lu Roh,” dumel Mandra dari suara televisi.
Nyokap yang menghadap ke TV bereaksi, “Oh ini … yang si Mandra ditinggal Munaroh nikah. Ahahahaha ….” Nyokap tertawa secara beringas ketika melihat Mandra memasang muka penuh kesengsaraan.
Gue yang melihat reaksi nyokap langsung menghadap televisi dan ikut tertawa juga, “Ahehehehe ….”
Namun selang beberapa detik, gue baru ngeh ternyata di ceritanya Mandra ditinggal … nikah. “BANGKE! KAYAK GUE DONG?!” batin gue, kaget.
Glek. Gue kembali melihat ke layar televisi. Gue lihat betapa Mandra begitu sengsara dengan raut muka kusutnya. Luntang-lantung kesana-kemari mencari babehnya. Pada sisi lain prihatin, tapi di sisi lain juga kocak. Ditambah, back sound nelangsa yang menyayat hati seperti ini: teeetoooteeet toooteeet toooooteeeeeeeeeett~
Gue kasihan sama Mandra dalam cerita Si Doel tersebut. Karena, sebelum Mandra ditinggal kawin sama Munaroh, dia juga sempat dibohongi sama Pak Tile alias babehnya. Hahaha. Ceritanya begini: Mandra bilang ke Pak Tile bahwa dia mau nikah sama Munaroh. Sekaligus, Mandra juga mau biaya nikahnya ditanggungi oleh Pak Tile. Pak Tile pun menyetujuinya.
Kontan, Mandra senang sampai joget-joget dan bersenandung. Nah pas mau acara lamaran Mandra dan Munaroh, tiba-tiba Pak Tile malah mau melamar Nyak Rodiyah. Otomatis, Mandra dan Munaroh nggak jadi nikah. Munaroh terus menunggu di teras rumahnya dari pagi sampai malam. Sementara Mandra cuma bisa pasrah dengan kenyataan tersebut. Klimaksnya, Mandra mengajak Munaroh untuk kawin lari.
Mandra dan Munaroh dalam Sinetron Si Doel Anak Sekolahan |
Sambil mencomot daging ayam satu per satu. Lantas gue membayangkan bahwa kisah cinta gue hampir mirip sama kisah cinta Mandra dan Munaroh. Saling cinta tapi nggak jadi married. Syedih nyet. Terkecuali penikungan Pak Tile ke Mandra. Amit-amit dah kalau gue sampai kayak gitu. Itu sih namanya orangtua geblek yang nggak mau ngalah sama anak. Hahaha, bangke banget.
Ujung-ujungnya, gue kembali terbawa suasana galau. Untungnya, nasi beserta lauk-pauk sudah habis. Soalnya, gue mulai nggak mood semenjak adegan Mandra ditinggal nikah oleh Munaroh. Siapa yang ditinggal, siapa yang baper? Hahaha. Sesudah makan dan cuci tangan, gue kembali duduk untuk menonton sinetron Si Doel. Gue perhatikan wajah Mandra lecek banget kayak kanebo basah. Gue nyengir, lalu berpikir bahwa keadaan gue ketika tahu bahwa doi mau nikah mungkin nggak beda jauh sama wajahnya Mandra itu. Gue pun nyengir kecut.
Di salah satu adegan pada episode tersebut, Munaroh pernah bilang, “Kok, Abang tega banget sih sama Munaroh …?” Sementara Mandra hanya diam dibarengi tatapan bersalah. Setelah gue lihat ke belakang, mungkin waktu dulu gue juga tega sama doi. Doi yang begitu perhatian, selalu menyapa, dan selalu tersenyum ke gue. Akan tetapi guenya malah bersikap biasa saja, acuh tak acuh, dan terkesan: lu siapa sih.
Balik lagi ke cerita Mandra dan Munaroh. Pada akhirnya, Munaroh dinikahi oleh orang lain karena Mandra nggak ada kepastian. Ada dialog Mandra dan Munaroh yang masih gue ingat, yakni: “Roh, kok lu tega banget sih …” “Munaroh tega, Bang? Abang yang tega, Bang. Ninggalin Munaroh nggak ada kabar!” Lalu, Munaroh menangis dan masuk ke dalam rumahnya. Mandra? Lagi-lagi dia harus tidur di emperan. Hahaha.
Glek. Cerita di atas nggak beda jauh sama cerita gue dan doi. Bisa jadi karena sifat gue yang apatis, sehingga doi harus hidup bersama orang lain yang lebih baik, lebih jelas, dan lebih ganteng daripada … gue. Sementara gue, hanya bisa memberikan selamat dari kejauhan meski hati dan raga ini amat sesak. Sebelum gue melengos pergi ke kamar, Mandra berteriak keras dibarengi efek suara menggema: kok lu tega si Rooooooh. Hati gue pun ikut berteriak: kok lu tegaaaaaaa!
***
Beberapa bulan yang lalu, film Ada Apa Dengan Cinta 2 resmi dirilis dan diputar di seluruh bioskop Indonesia. Tidak terkecuali di Singapore, Malaysia, Brunei Darussallam, dan negara tetangga lainnya. Film tersebut adalah film lanjutan dari film sebelumnya, yakni Ada Apa Dengan Cinta. Sudah pada tahu kan siapa pemeran utamanya? Betul sekali, yakni Malih dan Omas. Haha, sorry bercanda. Kedua pemeran utamanya masih tetap sama yakni Nicholas Saputra sebagai Rangga dan Dian Sastrowardoyo sebagai Cinta.
Walaupun AADC 2 sudah lama dirilis, tapi gue tetap nggak tahu ceritanya kayak bagaimana. Kenapa? Karena gue nggak pernah nonton filmnya di bioskop. Biasanya, gue baru kesampaian nonton film baru atau film box office ketika film tersebut sudah dibajak di toko-toko emper/ swalayan. Haha. Kalau nggak kayak gitu, paling gue nontonnya nanti, yaitu setahun atau dua tahun kemudian ketika film tersebut ditayangkan di televisi. Duh, jadi malu gue. Hahaha.
Oke, kita balik lagi ya ke konten film AADC 2. Jadi begini, menurut sinopsis film Ada Apa Dengan Cinta 2, Rangga bertemu kembali dengan Cinta setelah 14 tahun lamanya nggak ketemu. Buseh … lama banget ya? Bayangkan deh, 14 tahun! Kalau nanam pohon mangga, pasti pohon tersebut bakal sudah besar dan berbuah. Kalau yang lagi kuliah, pasti sudah jadi dosen. Nah, tapi gue nggak tahu lagi kelanjutan Rangga dan Cinta setelah bertemu. Apakah mereka akan menikah, apakah mereka akan pisah kembali, atau malah mereka akan menjual buah mangga di mobil bak. Sumpah gue nggak tahu, hahaha.
Rangga dan Cinta Bertemu Kembali Setelah 14 Tahun Tidak Bertemu |
Baiklah, setelah menonton trailer film AADC 2 di televisi. Gue kembali mengaitkan dengan kisah gue dan doi. Gue suka membayangkan, Rangga dan Cinta saja bakal bertemu kembali meskipun sampai belasan tahun. Nah, gue pun berharap supaya suatu hari nanti gue ketemu lagi sama doi. Entah di mana, kapan, dan mengapa kita bisa bertemu lagi. Ini cuma harapan gue saja, karena yang memutuskan tetap saja oleh-Nya.
Jikalau hal itu terkabul, gue pasti terharu, nggak nyangka, dan pastinya gue akan senang. Ya, walaupun kita nanti sudah berumur atau bahkan sudah uzur. Hahaha. Tapi nggak apa-apa, yang penting gue ingin ketemu sama doi sekali lagi. Mungkin lucu, ketika gue dan doi ketemu nanti sudah membawa pasangan masing-masing, membawa anak, dan membawa kenangan antara kita berdua. Atau jangan-jangan gue malah masih sendiri. Kalau kata orang sunda mah: olangan wae. Ya Allah, ampuni hamba Ya Allah.
Padahal rencananya, gue bakal balik lagi ke Jakarta dan hendak menemuinya sambil mengatakan, “Maukah kamu menikah denganku?” Tapi, rencana itu kini sudah hancur luluh lantah oleh takdir kehidupan. Gue berani bilang kayak gitu pun ketika gue sudah mendapat pekerjaan tetap dan gaji tetap. Sedangkan doi kayaknya sudah ngebet mau punya anak atau orangtuanya yang ngebet mau punya cucu. Jadi, bagaimana pun juga harus gue relakan semua itu. Ikan masih banyak di empang, yo!
***
Biasanya, setiap sebelum tidur gue mendengarkan lagu terlebih dahulu. Entah kenapa jika mendengarkan lagu di malam hari lebih mengenai hati dan perasaan. Mungkin karena suasana yang lebih tentram, sunyi, dan sepi jika dibandingkan dengan siang hari. Lampu kamar telah dimatikan, lalu selimutan, kemudian memeluk guling, dan terakhir menyetel lagu favorit adalah hal yang dapat membuat gue rileks setelah seharian bepergian.
Kalau lagu untuk pengantar tidur, yang paling cocok adalah lagu slow. Lebih bagus lagi jika kita mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran atau Asmaul Husna. Supaya lebih rileks, cepat mengantuk, dan dapat pahala. Tapi, ada juga orang yang sebelum tidur malah mendengarkan lagu metal. Seperti Slipknot, Black Sabbath, Burgerkill, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, lagu yang pantas untuk dijadikan lagu pengantar tidur tergantung selera kita masing-masing. Asalkan, jangan terlalu keras memasang volume di telinga kita. Terlebih yang suka menggunakan earphone, karena efeknya bisa budeg.
Pada malam harinya pasca gue menyaksikan trailer AADC 2, gue pun berangkat tidur. Ketika gue telah berbaring di kasur, pikiran gue masih membayangkan adegan ketika Rangga dan Cinta saling berhadapan. Gue membayangkan lagi, seandainya saja suatu saat nanti gue dan doi bisa berjumpa seperti Rangga dan Cinta. Sialnya setelah membayangkan adegan Rangga dan Cinta, otak gue malah kembali membayangkan gambar denah lokasi. Seketika, gue galau lagi.
Lantas, gue pun mencoba untuk membuyarkan pikiran negatif tersebut dengan cara membenamkan muka ke bantal. Alhasil, bukannya berhasil tapi malah gue yang nggak bisa napas. Cara kedua, gue mencoba untuk menutupi seluruh badan dengan selimut supaya dapat cepat tidur. Kampretnya, belum lima detik gue sudah batuk-batuk karena selimut tersebut bau apek. Pada akhirnya, gue menemukan solusi tepat yaitu mendengarkan lagu favorit. Hohoho.
Crek, kabel earphone sudah gue sambungkan ke handphone. Kemudian, gue pilih lagu mana yang mau dinikmati. Waktu itu, gue sedang senang-senangnya mendengar lagu-lagu album Made, Bigbang. Ada banyak lagu Bigbang yang gue sukai sebelum tidur, beberapa di antaranya adalah Loser, Haru-Haru, Let Me Hear Your Voice, If You, dan lain sebagainya. Namun, karena waktu itu gue sedang ingin melupakan suatu hal, maka gue pilih lagu Sober.
Berdasarkan kamus offline yang ada di laptop, sober menurut kata sifatnya berarti membawa ketenangan. Itu berarti pas buat gue yang sedang dirundung kesedihan. Gue pun memejamkan mata agar lagu Sober dapat diresapi lebih dalam. Ketika lagu telah sampai di sepertiga durasi, terdapat lirik without you oleh Seungri yang berarti tanpamu. Kemudian dilanjutkan oleh G-Dragon yang berbunyi: without you ajikdo igose hollo nama, neo hanamaneul mitgo ireohge gidarineun naega, babo gatjanha no no no.
Kira-kira Beginilah Ilustrasi Gue Pada Waktu Itu |
Bila diartikan ke dalam Bahasa Indonesia adalah: tanpamu, aku masih ditinggalkan sendirian di sini, aku sedang menunggu untukmu, hanya percaya padamu, tapi aku bodoh, tidak tidak tidak. Lagi lagi, lirik tersebut seperti menggambarkan diri gue. Ya, tanpanya gue masih sendiri dan seakan-akan gue seperti hidup sendirian di dunia ini. Gue yang selalu menunggu alias ngarep doi bakal ketemu sama gue lagi, ternyata nggak pernah. Gue yang selalu percaya dengan bayangan tentang doi, nyatanya omong-kosong. Pada akhirnya, gue menjadi teramat bodoh.
***
Dengan demikian, doi akan gue kubur di hati ini sebagai cewek yang paling gue cintai walaupun nggak bisa dimiliki. Segalanya tentang doi akan gue lupakan di pikiran, tapi nggak gue lupakan di hati. Sampai kapan pun, doi akan selalu berada di hati gue yang paling dalam. Seperti halnya kapal megah Titanic yang masih berada di dasar lautan Samudera Pasifik. Perbedaannya dengan kapal Titanic, doi senantiasa lekang di lubuk hati gue sementara kapal itu terus dimakan oleh plankton. Sedangkan persamaannya adalah sama-sama nggak mungkin seperti dulu lagi.
THE END
Demikianlah Artikel Cinta Tak Akan Pernah Kembali
Sekianlah artikel Cinta Tak Akan Pernah Kembali kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Cinta Tak Akan Pernah Kembali dengan alamat link https://ceksemuanyadisini.blogspot.com/2016/11/cinta-tak-akan-pernah-kembali.html
0 Response to "Cinta Tak Akan Pernah Kembali"
Posting Komentar